Viewflipping ebook version of BATU BELAH BATU BERTANGKUP published by ROSAIDIY BIN DOLLAH on 2022-03-19. Interested in flipbooks about BATU BELAH BATU BERTANGKUP? ialah cerita-cerita rakyat dan khazanah ini seharusnya dipelihara supaya kekal sepanjang zaman. Oleh itu, buku-buku cerita seperti ini sering diterbitkan dalam pelbagai bentuk.
Salahsatu cerita rakyat yang cukup terkenal di Riau adalah cerita rakyat Melayu Batu Belah Batu Betangkup (batu yang telah terbelah kemudian menutup kembali).Cerita rakyat melayu ini telah ditulis dalam sebuah buku untuk lebih memudahkan orang menemukan referensinya. Cerita tersebut tertuang pada buku Cerita Rakyat Melayu keluaran Adicita yang diberi judul Batu Batangkup dengan penceritanya
CeritaSyawal Saya & Dia salam aidilfitri maaf zahir & batin pertama syawal tanpa ayah. belajar menguatkan diri. walau masih ada sebak bertamu. masih terbayang gelagat ayah di pagi raya namun bila terpandangkan mak, aku menahan rasa. sebab aku tahu, rindu seorang isteri lebih menebal daripada rindu seorang anak ini. maka jadilah aku si murai
Padawaktu kedua kakak beradik itu tiba di sana. Keadaan alam di sekitarnya amat buruk. Hujan turun deras disertai angin ribut. Bumi terasa bergetar karena sedang menyaksikan Atu Belah menelan manusia. Setelah semua reda, dengan hati hancur luluh kedua kakak beradik itu hanya dapat melihat rambut ibunya yang tidak tertelan Atu Belah.
g42229193 menerbitkan CERITA TAULADAN - BATU BELAH BATU BERTANGKUP pada 2020-04-18. Baca versi flipbook dari CERITA TAULADAN - BATU BELAH BATU BERTANGKUP. Muat turun halaman 1-5 di AnyFlip. Batu Belah Batu Bertangkup. Apabila dia masuk ke dalam gua itu, gua itu pun tertutup Mereka berasa amat sedih.
Vay Tiền Trả Góp 24 Tháng. Cerita Rakyat Indonesia yang paling popular dikalangan masyarakat Indonesia pernah kami tulis dalam posting Cerita Rakyat Indonesia Paling Populer Dari Pulau Jawa. Kali ini kami memposting salah satu dari contoh cerita rakyat nusantara yang paling menarik. Cerita rakyat pendek ini mengisahkan seorang Ibu yang hidup dengan kedua anaknya. Yuk kita ikuti kisahnya bersama-sama. Pada zaman dahulu, di sebuah desa. Tinggallah seorang Janda yang bernama Mbok Minah. Ia tinggal dengan kedua anaknya. Anak yang pertama seorang Laki-laki dan anak Mbok Minah yang ke dua seorang perempuan. Contoh Cerita Rakyat Indonesia Legenda Batu Batangkup Mbok Minah selalu bekerja keras untuk menghidupi kedua anaknya. Ia selalu pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan di jual ke pasar. Hasil dari penjualannya tersebut di gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kedua anaknya sangat nakal dan pemalas. Kerjaannya hanya main-main saja. Mereka tidak pernah membantu Mbok Minah. Mereka selalu membantah perkataan emaknya dan membuat Mbok Minah sedih dan menangis. Mbok Minah sudah tua dan sakit-sakitan. Namun, kedua anaknya selalu bermain tanpa mengenal waktu dan kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya. “Yaaa Tuhan, hamba. Sadarkanlah anak hamba yang tidak pernah ingin menghormati ibunya,” Mbok Minah berdoa di antara tangisnya. Pada suatu hari. Mbok Minah memanggil kedua anaknya. Namun, Kedua anaknya tidak menghiraukan panggilan ibunya tersebut malah asik bermain. Mbok Minah pun terus memanggil kedua anaknya. Dan tetap sama, mereka sama sekali tidak menghiraukan panggilannya. Akhirnya, mbok Minah pergi ke dapur untuk membuatkan makanan, meskipun badannya terasa sangat lemas. Tidak lama kemudian, makanan sudah siap. Mbok Minah segera memanggil kedua anaknya. ’ Anak-anakku ayo pulang. Makanan sudah siap.’’ Ujar Mbok Minah. Mendengar makanan sudah siap, mereka langsung berlari menuju dapur. Mereka makan dengan sangat lahap dan menghabiskan semua makanan tanpa menyisakan sedikitpun untuk emaknya. Mbok Minah menahan rasa laparnya. Kedua anaknya kembali bermain dan sama sekali tidak membantu Mbok Minah mencuci piring. Ketika malam semakin larut. Sakitnya Mbok Minah semakin parah. Namun, anaknya sama sekali tidak mempedulikannya sampai Mbok Minah tertidur sangat lelap. Suatu hari. Mbok Minah menyiapkan makanan yang sangat banyak untuk kedua anaknya. Setelah itu, Mbok Minah langsung pergi ke tepi sungai mendekati sebuah batu. batu tersebut dapat berbicara. Batu tersebut juga bisa membuka lalu menutup kembali seperti karang. Orang-orang di desa tersebut menyebutnya Batu Batangkup Mbok Minah mendatangi Batu Batangkup dengan perasaan sangat sedih. ’ Wahai Batu yang dapat bicara. Saya sudah tidak sanggup hidup dengan kedua anak yang sudah durhaka kepada orang tuanya. Kedua anak yang tidak pernah mempedulikan keberadaanku dan tidak pernah menghormati orang tuanya. Aku mohon. Tolong telanlah aku sekarang juga.’’ Kata Mbok Minah menangis. ’ Apakah engkau tidak menyesal dengan permintaan mu ini Mbok Minah? Bagaimana nasib kedua anakmu nanti?’’ jawab Batu Batangkup. ’ Aku tidak akan pernah menyesal. Mereka bisa hidup sendiri. Mereka juga tidak pernah menganggapku dan peduli pada emaknya.’’ Kata Mbok Minah. ’ Baiklah Mbok Minah. Jika itu mau mu. Akan aku kabulkan.’’ Dalam sekejap, Batu Batangkup langsung menelan Mbok Minah, dan meninggalkan rambut panjangnya. Kedua anaknya pun merasa heran. Karena tidak bertemu dengan emaknya dari pagi. Namun, mereka tetap tidak mempedulikan emaknya. Karena makanan yang lumayan banyak. Mereka hanya makan dan kembali bermain. Namun, setelah dua hari makanan pun habis. Mereka mulai kebingungan dan mulai merasa lapar. Sudah dua hari berlalu. Namun, emaknya belum juga kembali Keesokkan harinya, mereka mencari Mbok Minah sampai menjelang malam. Namun, tidak bisa menemuka emaknya. Keesokkan harinya lagi. Mereka mencari di sekita sungai. Mereka melihat Batu Batangkup dan melihat ujung rambut Mbok Minah yang terurai. Mereka segera berlari menghampiri Batu Batangkup tersebut. ’ Wahai Batu Batangkup. Tolong keluarkan emak kami. Kami sangat membutuhkan emak kami.’’ Ratap mereka sedih. ’ Tidak!! Aku tidak akan mengeluarkan Mbok Minah keluar dari perutku. Kalian membutuhkannya karena lapar. Kalian tidak menyayangi dan menghormati emak kalian.’’ Jawab Batu Batankup. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup. Namun, tindakan mereka hanya sebentar. Setelah itu mereka kembali pada kebiasaan lamanya, pemalas, tidak mau membantu emaknya, tidak menghargai dan menghormati orang tua. Dan kerjaannya hanya bermain dan bermain. Mbok Minah merasa sangat sedih karena kejadian sebelumnya terulang kembali. Ia pun memutuskan kembali untuk di telan oleh Batu Batangkup. Namun, kedua anaknya asik bermain dari pagi sampai menjelang sore. Mereka pun menyadari dan tidak melihat emaknya. Keesokan harinya, mereka mendatangi Batu Batangkup dan kembali menangis dan memohon agar emaknya di keluarkan kembali. Namun, Batu Batangkup sangat marah. ’ Kalian anak-anak yang tidak tahu di untung. Kalian hanya anak nakal yang bisanya Cuma main dan main. Sekarang penyesalan kalian tidak aka nada gunanya.’’ Kata Batu Batangkup dengan nada tinggi. Batu Batangkup pun langsung menelan kedua anak nakal tersebut masuk kedalam tanah. Mereka pun sampai sekarang tidak pernah kembali. Pesan moral dari Cerita Rakyat Indonesia Batu Batangkup adalah hormati dan sayangi kedua orang tuamu karena kesuksesan dan kebahagianmu dimasa depan akan sangat tergantung dari doa mereka. Ikuti koleksi cerita rakyat menarik lainnya pada posting berikut ini Dongeng Cerita Rakyat Indonesia Cindelaras dan 5 Cerita Rakyat Fabel Nusantara Dongeng Sebelum Tidur
INDRAGIRI HILIR, - Salah satu cerita rakyat yang cukup terkenal di Riau adalah cerita rakyat Melayu Batu Belah Batu Betangkup batu yang telah terbelah kemudian menutup kembali. Cerita rakyat melayu ini telah ditulis dalam sebuah buku untuk lebih memudahkan orang menemukan referensinya. Cerita tersebut tertuang pada buku Cerita Rakyat Melayu keluaran Adicita yang diberi judul Batu Batangkup dengan penceritanya Farouq Alwi serta disunting oleh Mahyudin Al Mudra dan ini telah diterbitkan pada bulan Oktober tahun 2006, dan merupakan kerjasama antara Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dengan Adicita Karya Nusa. Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran cerita rakyat tersebut, berikut disajikan ulasan singkatnyaPada zaman dahulu, di sebuah dusun di Indragiri Hilir hiduplah seorang janda bernama Mak Minah dengan ketiga orang anaknya. Anak yang pertama bernama Diang, seorang wanita. Sementara dua orang yang lain adalah laki-laki yang masing-masing bernama Utuh dan Ucin. Untuk memenuhi kebutuhan hidup ketiga anaknya, MakMinah harus selalu bekerja. Pekerjaan Mak Minah adalah berjualan kayu bakar ke anak Mak Minah sangat nakal. Mereka tidak mau mendengarkan nasihat Mak Minah. Ketiganya kerap membantah perintah dari ibunya. Mereka hanya suka bermain-main saja, bahkan hingga larut malam. Mak Minah sering merasa sedih dengan kelakukan anak-anaknya. Ia sering mendoakan anak-anaknya agar sadar dan mau menghormati orang tuanya. Pada keesokan harinya Mak Minah menyiapkan banyak makanan untuk anak-anaknya. Setelah itu ia pergi ke sungai dan mendekati sebuah batu sambil berbicara. Batu tersebut juga bisa membuka lalu menutup kembali, layaknya seekor kerang. Orang-orang sering menyebutnya dengan batu betangkup.“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak betangkup pun kemudian menelan tubuh Mak Minah, hingga yang tertinggal dari tubuh Mak Minah sebagian rambutnya sore hari, ketiga anaknya mulai merasa heran. Mereka sejak pagi tidak menjumpai emak mereka. Akan tetapi karena makanan yang ada cukup banyak, mereka akhirnya cuma makan lalu bermain-main kembali. Setelah hari kedua, makanan pun mulai habis. Anak-anak Mak Minah mulai kebingungan dan merasa lapar. Sampai malam mereka kebingungan mencari emaknya. Barulah pada keesokan harinya setelah mereka pergi ke tepi sungai, mereka menemukan ujung rambut Mak Minah yang terurai ditelan batu betangkup.“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu,” ratap mereka.“Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis.“Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya batu betangkup pun mengabulkan ratapan ketiga anak Mak Minah. Mak Minah dikeluarkan dari tangkupan batu betangkup. Mereka pun menjadi rajin membantu emak dan menyayangi Mak Minah. Akan tetapi, hal tersebut ternyata tidak bertahan lama. Beberapa waktu kemudian mereka berubah sifat kembali seperti semula. Suka bermain-main dan malas membantu orang Minah pun kembali sedih. Ia lalu mengunjungi lalu batu betangkup di tepi sungai. Ia kemudian ditelan lagi oleh batu betangkup tersebut. Anak-anak Mak Minah masih terus sibuk bermain-main. Menjelang sore hari, barulah mereka sadar bahwa emak mereka tak ada lagi. Mereka pun kembali mengunjungi batu betangkup di tepi sungai sambil meratap meminta agar emak mereka dikeluarkan oleh batu betangkup. Akan tetapi, kali ini batu betangkup sudah marah. Ia lalu berkata “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata batu batangkup sambil menelan mereka. Batu batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul Rakyat Melayu Riau Batu Belah Batu Betangkup ini berasal Indragiri Hilir yang memberikan pelajaran kepada anak-anak khususnya, dan semua orang pada umumnya agar bisa bersikap baik terhadap orang tua. Rajin membantu, menyayangi dan tidak membantah perintah kedua orang tua. Cerita ini memiliki nilai pesan moral yang cukup baik untuk anak-anak dan semua orang. ***
Tajuk Cerita Kisah Batu Belah Batu Bertangkup’Terima kasih kepada Tuan Pengerusi Majlis, barisan panel hakim yangarif lagi bijaksana, penjaga masa yang setia, guru-guru dan rakan-rakan yangsaya hormati sekalian. Selamat pagi dan salam sejahtera saya ucapkan. Padapagi yang mulia ini, saya akan menyampaikan sebuah cerita yang bertajuk,Kisah Batu Belah Batu Bertangkup’. Pada zaman dahulukala, ada sepasang suami isteri yang bernama PakMelur dan Mak Tanjung yang bekerja sebagai petani di sebuah mempunyai dua orang anak iaitu Melur dan Pekan. Pada suatu hari,Pak Melur jatuh sakit dan meninggal dunia. Walaupun sedih, Mak Tanjungmasih tabah menjaga kedua-dua anaknya yang masih kecil itu. Pada suatu hari, Mak Tanjung berasa teringin untuk memakan telurikan tembakul. Maka, dia pun pergi ke sungai berhampiran untuk mencari ikantembakul. Dia bernasib baik kerana berjaya menangguk seekor ikantembakul. Dengan perasaan yang gembira dia membawa ikan itu pulang kerumah dan berpesan kepada Melur supaya memasak gulai.“Melur, Pekan, kamu makanlah ikan itu, tetapi tinggalkan telurnyasedikit untuk ibu, ya,” pesan Mak Tanjung. Kedua-duanya pun Mak Tanjung pun keluar ke hutan untuk mencari sedikit ulam sementaraMelur memasak di dapur. Semasa di dalam hutan, Mak Tanjung terlihatseketul batu belah yang sangat mengerikan. Dia teringat cerita-cerita orangtua yang mengatakan bahawa batu belah itu batu berpuaka. Ia akan terbukajika lapar dan akan bertangkup semula setelah mendapat mangsanya. Dalam
AsalUsul Batu Betangkup KisahAwal Dahulu, ada suatu dusun di Indragiri Hilir, Riau, hiduplah seorang janda tua bernama Mak Minah. Ia tinggal bersama ketiga anaknya. Dua anak laki-laki, bernama Utuh dan Ucin. Sedangkan anak yang ketiga adalah perempuan, bernama Diang. Walaupun sudah tua, Mak Minah masih semangat bekerja keras untuk memenuhi kehidupan ketiga anaknya. Setiap pagi, ia memasak dan mencuci. Setelah pekerjaan rumah selesai, Mak Minah pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan dijual ke pasar. Dari hasil inilah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Ketiga anaknya yang masih kanak-kanak sangatlah nakal juga pemalas. Mereka hanya bermain, tidak pernah membantu atau merasa iba pada emaknya yang mulai sakit-sakitan. Bahkan tak jarang mereka membantah nasihat emaknya sampai bersedih. Pada suatu sore, ketiga anaknya asyik bermain didekat rumah mereka. “Utuh, Ucin, Diang… !” teriak Mak Minah. Walaupun sudah mendengar panggilan emaknya, mereka tetap diam saja. “Anak-anakku, Pulanglah! Hari sudah sore,” seru Mak Minah. Ketiganya masih asyik bermain. Tak lama kemudian, Mak Minah memanggil mereka lagi. “Utuh, Ucin, Diang…! Pulanglah! Hari telah gelap. Emak sedang kurang enak badan. Masaklah makan malam!” kata Mak Minah. Karena lemas Mak Minah merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tetapi anaknya masihasyik bermain. Mereka tidak menghiraukan seruan Mak Minah. Setelah menunggu lama, ketiga anaknya tidak berhenti bermain. Akhirnya, Mak Minahlah yang memasak, walau badannya lemas. Sesudah makanan siap, Mak Minah kembali memanggil anaknya. “Utuh, Ucin, Diang… ! Pulanglah, Nak! Makan malam sudah Emak siapkan.” Setelah mendengar itu baru mereka berhenti bermain. Lalu, mereka langsung ke dapur dengan lahapnya menghabiskan makanan itu tanpa menyisakan untuk emaknya. selesainya makan, mereka kembali bermain tanpa membantu mencuci piring. Hari semakin malam, sakit Mak Minah pun semakin parah. Badannya lemah dan pegal-pegal karena kelelahan bekerja. “Utuh, Ucin, Diang… ! Tolong pijat Emak, Nak!” minta Mak Minah pada anaknya. Namun, mereka pura-pura tidak mendenga dan terus bermain sampai larut malam. Mak Minah hanya bisa meratapi nasibnya. “Ya Tuhan, tolong hamba! Sadarkanlah ketiga anakku, supaya peduli pada Emaknya yang tak berdaya ini,” do’a Mak Minah seraya menangis. Akhirnya Mak Minah pun tertidur. Keesokan paginya Mak Minah bangun pagi sekali untuk memasak nasi dan lauk yang banyak. Setelahnya, Mak Minah pergi ke tepian sungai dekat gubuknya tanpa memberi tahu anaknya. Ia mendekati sebuah batu bernama batu betangkup yang katanya bisa berbicara dan bisa membuka serta menutup seperti kerang. Tragedi Batu Betangkup Mak Minah berlutut didepan batu itu dan memohon supaya menelan dirinya. “Wahai Batu Batangkup, telan diriku. aku sudah tidak sanggup hidup bersama ketiga anak ku yang tidak mendengar nasihat,” pinta Mak Minah. “Apakah kau tidak akan menyesal, Mak Minah?” tanya Batu Batangkup. “Lalu, bagaimana nasib dari anak-anakmu?” lanjut Batu Batangkup. “Biarkan mereka hidup sendiri tanpa emaknya. Mereka sudah tidak perduli pada emaknya,” jawab Mak Minah. “Baiklah, kalau itu inginkanmu,” jawab Batu Batangkup. Dalam sekejap Batu Batangkup menelan Mak Minah dan hanya menyisakan rambut panjangnya tampak di luar. Ketika hari sudah sore, ketiga anak Mak Minah pulang bermain dan langsung menyantap makanan yang disiapkan Mak Minah. Mereka heran karena emaknya belum pulang. Namun melihat persediaan makanan masih banyak, membuat mereka tidak peduli. Dua hari kemudian, persediaan makanannya sudah habis. Sedangkan Mak Minah belum pulang ke rumah membuat ketiga anaknya kebingungan. Mereka mencari ke sana ke mari tetap tidak menemukan Mak Minah. “Emak, maafkan kami! Kami menyesal tidak peduli pada Emak…,” sesal ketiga anak itu. Paginya, ketiga anak itu kembali mencari emaknya mereka menyusuri sungai sampailah mereka di depan Batu Batangkup. Mereka terkejut ketika melihat rambut emaknya terurai di sela-sela Batu Batangkup. “Wahai, Batu Batangkup! Keluarkan Emak kami dari perutmu. Kami butuh Emak kami,” pinta ketiga anak itu. Tetapi Batu Batangkup diam saja, ketiga anak itu terus memohon supaya emaknya dilepaskan. “Tidak! Kalian hanya membutuhkan emak kalian saat lapar. Kalian tidak pernah membantu serta mendengar nasihat emak kalian,” ujar Batu Batangkup. “Batu Batangkup! Kami berjanji akan membantu emak serta mematuhi nasihatnya,” jawab Utuh sambil menangis. “Iya, Batu Batangkup, kami janji,” tambah Uci dan Diang turut menangis. “Baiklah, emak kalian akan ku keluarkan karena kalian sudah berjanji. Apabila kalian ingkar janji, emak kalian akan kembali kutelan” ancam Batu Batangkup. Setelah emak mereka di keluarkan mereka berkata “Maafkan Utuh, Emak!” “Uci juga, minta maaf Mak! Uci janji akan mematuhi nasihat Emak,” “Iya, Mak! Diang juga minta maaf. Diang janji akan membantu Emak!”. “Sudah, Anakku! Kalian Emak maafkan,” jawab Mak Minah. Setelah itu, mereka pun pulang. Semenjak itu, ketiga anak tersebut rajin membantu Mak Mina bekerja. Utuh dan Uci membantu mencari kayu bakar di hutan untuk dijual. Sedangkan Diang, sibuk menyiapkan makanan dirumah. Mak Minah merasa gembira melihat perubahan anak-anaknya. Tetapi kebahagiaan itu hanya sementara. Perilaku ketiganya pun berubah jadi semakin nakal dan pemalas. Utuh dan Uci tidak lagi membantu mencari kayu bakar. Begitupun Diang, tidak lagi memasak. Mereka semakin berani membantah nasihat emaknya membuta hati Mak Minah sedih. Penyesalan Pada malam hari, Mak Minah memasak nasi dan lauk yang banyak. Karena Mak Minah sudah tidak tahan dengan perilaku anaknya. Saat ketiga anaknya tertidur Mak Minah mencium serta menyelimuti anak-anaknya, lalu ia kembali ke Batu Batangkup. Dengan perasaan sedih Mak Minah berlutut dan memohon pada Batu Batangkup, “Wahai, Batu Batangkup! Telan kembali aku. Mereka sudah tidak menghormatiku lagi,” pinta Mak Minah. Tak lama, Batu Batangkup pun menelan Mak Minah. Keesokan paginya, ketiga anak itu bermain seperti biasa tanpa menghiraukan emaknya yang dikira pergi ke hutan mencari kayu. Menjelang sore, Mak Minah belum pulang juga, mereka sadar telah melanggar janji yang sudah sepakati untuk tidak nakal lagi. Tanpa pikir panjang, ketiga anak itu berlari ke Batu Batangkup. “kami minta maaf, Batu Batangkup! Kami menyesal. Keluarkan emak kami dari perutmu!” pinta ketiga anak itu. “Kalian anak nakal. Kali ini tidakakan aku mmaafkan ” jawabBatu Batangkup kesal. Kemudian BatuBatangkup menelan ketiga anak tubuh ketiga anak itu sudah masuk ke perutnya, Batu Batangkup itu punmasuk dalam tanah. Hingga sekarang Batu Batangkup tidak pernah muncul kembali. Pada jaman dahulu di tanah Gayo, Aceh – hiduplah sebuah keluarga petani yang sangat miskin. Ladang yang mereka punyai pun hanya sepetak kecil saja sehingga hasil ladang mereka tidak mampu untuk menyambung hidup selama semusim, sedangkan ternak mereka pun hanya dua ekor kambing yang kurus dan sakit-sakitan. Oleh karena itu, untuk menyambung hidup keluarganya, petani itu menjala ikan di sungai Krueng Peusangan atau memasang jerat burung di hutan. Apabila ada burung yang berhasil terjerat dalam perangkapnya, ia akan membawa burung itu untuk dijual ke kota. Suatu ketika, terjadilah musim kemarau yang amat dahsyat. Sungai-sungai banyak yang menjadi kering, sedangkan tanam-tanaman meranggas gersang. Begitu pula tanaman yang ada di ladang petani itu. Akibatnya, ladang itu tidak memberikan hasil sedikit pun. Petani ini mempunyai dua orang anak. Yang sulung berumur delapan tahun bernama Sulung, sedangkan adiknya Bungsu baru berumur satu tahun. Ibu mereka kadang-kadang membantu mencari nafkah dengan membuat periuk dari tanah liat. Sebagai seorang anak, si Sulung ini bukan main nakalnya. Ia selalu merengek minta uang, padahal ia tahu orang tuanya tidak pernah mempunyai uang lebih. Apabila ia disuruh untuk menjaga adiknya, ia akan sibuk bermain sendiri tanpa peduli apa yang dikerjakan adiknya. Akibatnya, adiknya pernah nyaris tenggelam di sebuah sungai. Pada suatu hari, si Sulung diminta ayahnya untuk pergi mengembalakan kambing ke padang rumput. Agar kambing itu makan banyak dan terlihat gemuk sehingga orang mau membelinya agak mahal. Besok, ayahnya akan menjualnya ke pasar karena mereka sudah tidak memiliki uang. Akan tetapi, Sulung malas menggembalakan kambingnya ke padang rumput yang jauh letaknya. “Untuk apa aku pergi jauh-jauh, lebih baik disini saja sehingga aku bisa tidur di bawah pohon ini,” kata si Sulung. Ia lalu tidur di bawah pohon. Ketika si Sulung bangun, hari telah menjelang sore. Tetapi kambing yang digembalakannya sudah tidak ada. Saat ayahnya menanyakan kambing itu kepadanya, dia mendustai ayahnya. Dia berkata bahwa kambing itu hanyut di sungai. Petani itu memarahi si Sulung dan bersedih, bagaimana dia membeli beras besok. Akhirnya, petani itu memutuskan untuk berangkat ke hutan menengok perangkap. Di dalam hutan, bukan main senangnya petani itu karena melihat seekor anak babi hutan terjerat dalam jebakannya. “Untung ada anak babi hutan ini. Kalau aku jual bias untuk membeli beras dan bisa untuk makan selama sepekan,” ujar petani itu dengan gembira sambl melepas jerat yang mengikat kaki anak babi hutan itu. Anak babi itu menjerit-jerit, namun petani itu segera mendekapnya untuk dibawa pulang. Tiba-tiba, semak belukar di depan petani itu terkuak. Dua bayangan hitam muncul menyerbu petani itu dengan langkah berat dan dengusan penuh kemarahan. Belum sempat berbuat sesuatu, petani itu telah terkapar di tanah dengan tubuh penuh luka. Ternyata kedua induk babi itu amat marah karena anak mereka ditangkap. Petani itu berusaha bangkit sambil mencabut parangnya. Ia berusaha melawan induk babi yang sedang murka itu. Legenda Batu Belah Batu Betangkup Suatu hari ketika musim kemarau, ladang kecil yang dimiliki petani tersebut sangat kering dan tidak membuahkan hasil. Ayah Bu, kita sudah tak ada uang. Ladang kering kerontang. Apa yang harus kita lakukan untuk menyambung hidup? Ibu Bagaimana kalau kambing yang kita ternak dijual saja Yah? Ayah Tapi kan kambing-kambing itu sangat kurus, tidak akan laku mahal di pasar, Bu. Ibu Nanti coba minta tolong Sulung untuk menggembala kambing ke padang rumput supaya cepat gemuk ya Yah. Ayah Iya Bu. Ayah segera memanggil Sulung. Ayah Sulung, tolong kamu beri makan kambing-kambing kita di padang rumput ya. Persediaan uang sudah menipis, sedangkan ladang kita sedang sangat kering. Sulung Tidak mau! Ibu Kenapa, Sulung? Tolonglah bantu Ayah dan Ibu. Ayah Iya, nak. Rencananya kambing akan Ayah jual di pasar untuk pemasukan kebutuhan kita. Tak lama kemudian Sulung mau menggembala dua ekor kambing yang dimikili Ayahnya. Namun tak sampai di padang rumput yang dituju, Sulung memutuskan untuk tidur di bawah sebuah pohon hingga sore. Dan ketika bangun, kambing yang dititipkan Ayahnya sudah raib entah ke mana. Tanpa rasa bersalah, Sulung tak menjelaskan kejadian sebenarnya. Ayah Kambing-kambing kita di mana, Sulung? Kok tidak ada? Sulung Tadi hanyut di sungai! Ayah Apa? Hanyut? Yaampun bagaimana ini? Kenapa bisa hanyut? Ayah sangat kecewa pada Sulung yang tidak bisa diandalkan, padahal semua hal yang dimintanya adalah demi kepentingan hidup bersama-sama, yaitu demi kebutuhan pangan. Kesedihanpun dirasakan Ibu yang selalu bersedia untuk mencari tambahan penghasilan untuk keluarga. Tanpa pikir panjang, Ayah segera berangkat ke hutan untuk melihat perangkap yang sengaja dipasang untuk menjerat hewan yang ada di sekitar hutan. Ayah Wow ternyata aku dapat! Seekor anak babi hutan, pasti akan laku dijual di pasar. Lumayan untuk membeli kebutuhan makanan selama seminggu! Dengan rasa gembira, Ayah melepas jeratan yang ada pada kaki hewan tersebut dan membawanya pulang. Namun hal tak terduga terjadi sebelum ia keluar dari hutan. Ia diserang dua ekor induk babi yang penuh amarah melihat anak mereka ditangkap. Serangan babi hutan tersebut tak kuasa tertahan sehingga Ayah sulung terkapar tak berdaya namun tetap mencoba melakukan serangan balik pada hewan liar tersebut. Tetapi usahanya tak membuahkan hasil, justru ia dikejar kawanan babi hutan hingga ke sungai. Sungguh naas nasibnya, ia tewas ketika melompati bebatuan karena terjatuh dan kepalanya membentur sebuah batu. Sementara itu, Ibu sedang memarahi Sulung yang tega membuang beras terakhir yang tersedia di rumah dengan rasa sedih yang tidak terbendung. Ibu Sulung! Kamu ini apa-apaan? Selalu bikin susah orang tua! Seenaknya saja kamu buang beras untuk makan ke dalam sumur?! Lelah memarahi Sulung, Ibupun meminta tolong agar Sulung mengambil periuk tanah liat di belakang untuk dijual ke pasar. Ibu Yasudah Sulung, tolong Ibu ambil periuk tanah di belakang. Akan Ibu jual ke pasar, tolong jaga adik karena Ayah belum pulang ke rumah. Sulung Untuk apa aku ambil periuk dan menjaga si Bungsu?!!! Aku jadi tidak bisa main! Mending aku pecahkan saja periuk ini!!!! Tak disangka periuk hasil buatan Ibu dipecahkan begitu saja oleh anak nakal yang satu ini. Sungguh keterlaluan dan membuat hati Ibu hancur berkeping-keping layaknya periuk yang sudah pecah itu. Ibu Suluuuung….. Apa kamu tidak tahu, kita butuh makan. Kenapa kamu pecahkan periuk itu? Padahal itu adalah satu-satunya sisa harta yang kita punya. sambil meneteskan air mata Sungguh terlalu, Sulung justru membentak Ibunya dengan nada tinggi yang tak terkira. sikap Sulung itu sangat keterlaluan pada Ibunya. Ia tak sadar bahwa suatu saat nanti penyesalan dan penderitaan pasti akan ia alami jika sang Ibu sudah tiada. Sementara itu, Bungsu yang baru satu tahun hanya bisa menyaksikan kesedihan mendalam pada Ibunya. Jika sudah sebesar Sulung, mungkin adiknya itu akan berinisiatif untuk menolong Ibunya. Tak lama kemudian, salah satu tetangga datang di tengah kekacauan dalam rumah itu. TetanggaBu, saya ingin menyampaikan informasi bahwa suami Ibu ditemukan sudah tak bernyawa di tepi sungai. Saya beserta warga yang lain turut berduka cita sedalam-dalamnya atas kepergian Almarhum. Ibu Innalillahi wainailaihi rajiun… semakin tersedu mendengar kabar buruk tersebut Namun tak nampak raut wajah kesedihan dari wajah Sulung. Ia justru berpikir bahwa tanpa Ayahnya, ia berarti bebas karena tidak ada yang menyuruh-nyuruhnya lagi. Ibu Sulung… Ibu tak sanggup lagi hidup di dunia ini. Ibu sangat sedih melihat perilaku kamu. Tolong jaga Bungsu, Ibu mau menyusul Ayahmu… Ibu Sulung pergi menuju sebuah batu yang disebut Batu Belah tempat suaminya terjatuh dan meninggal. Kemudian iapun bersenandung sambil berjalan menuju batu tersebut… “Batu belah batu bertangkup. Hatiku alangkah merana. Batu belah batu bertangkup. Bawalah aku serta.” Angin sesaat bertiup kencang dan membuat Ibu Sulung terperangkap di Batu Belah yang tidak bisa terbuka kembali untuk selamanya. Menyadari Ibunya telah tiada, Sulungpun sangat menyesal. Sulung Ibuuuuu!!!! Maafkan aku!!! Ibu kembalilah, Buuu!!!! Aku menyesaaal!!! Ibuuuu!!!! Sambil merintih dan terus menerus memohon Ibunya kembali, usaha Sulung tetap sia-sia. Batu Belah kini tertutup dan ia tak akan bisa bertemu Ibunya. Itulah salah satu contoh naskah drama cerita rakyat eg. Cerita legenda yang menceritakan tentang akibat perbuatan anak yang durhaka pada kedua orang tuanya. Penyesalan di akhir hanyalah sesuatu yang sia-sia dan tak bisa mengembalikan semua situasi terdahulu yang pernah ia perbuat. Sungguh sebuah legenda yang mengajarkan tentang pentingnya sikap santun pada orang tua yang wajib dilakukan semua anak di dunia. Naskah Drama Betangkup Belah Cerita Rakyat Sambas “BATU BALLAH BATU BETANGKUP” Jaman gek dolok di sebuah kampong yang bename pemangkat yang bedakatan dengan gue ajaib iye, tinggal Mak Tanjung bersame duak orang anaknye. Melur dan Pekan name anaknye. Mak Tanjung sadeh karne barok keilangan lakinye dan tepakse menjage keduak anaknye dangan keadaan yang marek, pade waktu dolok ade sebuah gue ajaib di daerah Sambas. Gue iye digelarek batu ballah batu betangkup dan ditakutek same penduduk kampong. Pintu gue iye tebukak dan tetutup bile dipanggel dan siapepun yang masok dalam gue iye daan dapat keluar agek. Pade suatu hari, Mak Tanjung kemponan nak makan talok tembakol. Die pun pagi ke sungai untok menangkapnye. Kenagek suke atinye dapat sekok ikan tembakol. “Wah, basar inyan ikan yang mak dapat tok ee !” jinye Pekan kesukean. “Iye, itok ikan tembakol namenye. Umak rase ikan itok ade taloknye. Udah lamak umak kemponan nak makan talok ikan tembakol itok.” Jinye Mak Tanjung Lakak iye Mak Tanjung nyiangek ikan tembakol iye. Die pun barekkannye ke Melur untok dimasakek gulai. “Masakkek gulai ikan dan goreng talok ikan tembakol iye. Umak nak ke utan carek kayu dolok. Mun umak lamak balik, Melur makan dolokan same_same Pekan. Tapi, usah lupak nyisakan talok ikan tembakol untok umak.” Pasan Mak Tanjung dangan Melur. Udah lakak masak gulai ikan tembakol, Melor goreng talok ikan tembakol agek. Die pun nyimpankan sikit talok tembakol iye di dalam bakol untok umaknye. Melur dan Pelan nunggu sampai tangah hari tapi umaknye daan balik-balik juak. Pekan dah mulai menangis karne kelaparan. Melur pun nyiapek nasek, talok ikan tembakol dangan gulai ikan tembakol untok dimakan lah Pekan. “Hmm… nyaman lalu talok ikan itok,” Jinye Pekan sambilan menikmatek talok ikan goreng iye. “Eh Pekan, usah nak makan talok ikan tolen, makanlah juak nasek dangan gulai ee” jinye Melur ngomong dengan Pekan. “Kakak, talok ikan dah abis, mintaklah Pekan agek. Baloman puas rasenye makan talok ikan tembakol itok.” Jinye Pekan mintak dengan Melur. “Eh, talok ikan iye daan banyak. Nah, ambeklah bagian kakak yo.” Jinye Melur. Pekan pun makan talok ikan punyak kakaknye iye tanpe befikir agek. Nyaman inyan rase talok ikan tembakol iye ! lakak abis talok ikan dimakannye, Pekan mintak agek. “Kak, Pekan nak mintak agek talok ikannye,” jinye Pekan mintak dengan Melur. “Eh, mane ade agek ! Pekan makan ajak nasek dangan gulai ikan ee. Agekpun, talok ikan yang sisak iye untok umak. Umak kan dah pasan dangan kakak untok nyisakan sikit talok ikan untok umak,” jinye Melur. Tapi, Pekan tatap makse dan menangis tolen. Melur pun bujok die tapi Pekan tatap menangis. Tibe-tibe, Pekan becacak dan ngambek talok ikan yang disimpan lah Melur untok umaknye. “Hah, rupenye ade agek talok ikan !” Jinye Pekan kesukean. “Pekan ! Usah nak makan talok iye ! Kakak nyimpannye untok umak,” jinye Melur. Tapi, Pekan daan dulikan omongan kakaknye Melur dan makan talok ikan iye sampai abis. Daan lamak, Mak Tanjung pun balik. Melur pun menyiapkan makanan untok umaknye. “Mane talok ikan tembakol, Melur ?” tanyak Mak Tanjung “Hm… Melur ade nyisakkan buat umak, tapi Pekan dah ngabiskannye, Melur dah melarangnye tapi…” “Jadi, sian sikit pun buat umak agek ?” tanyak Mak Tanjung. Melur daan jawab karne merase besalah. Die sadeh ngeliat umaknye yang gaye karne daan dapat nak makan talok ikan tembakol. “Mak, sebanarnye kemponan inyan nak makan talok ikan tembakol iye, tapi…” sadeh rasenye ati Mak Tanjung karne kecewa dangan kelakuan anaknye Pekan ee. Mak Tanjung meliat Melur dan Pekan dangan panoh kesadehan lalu bejalan nuju ke utan. Atinye betambah pilok mun menganang arwah lakinye dan merase direknye daan disayangek agek. Anak-anaknye daan nyayangek die agek karne dah melukaek atinye Mak Tanjung. Melur dan Pekan ngajar umaknye dari belakang. Anaknye beteriak sambil menangis bujok umaknye biar balik. “Mak. Usah tinggalkan Pekan ! Pekan minta maaf mak ! jinye Pekan. Melur ikut menangis dan beteriak, “Mak kasihanek kamek mak !. Melur dan Pekan takut kalu-kalu umaknye merajok dan pagi ke gue batu ballah batu betangkup. Melur dan Pekan becacak untok magek Mak Tanjung. Tapi, Melur dan Pekan dah telambat. Mak Tanjung daan dulikan bujokkan Melur dan Pekan, lakak iye die pun manggel gue batu ballah batu betangkup biar di bukakkan pintu. Mak Tanjung pun melangkahkan kaki masok ke pintu gue ajaib dan pintunye pun tetutup. Melur dan Pekan menangis tesadok-sadok didapan gue batu ballah batu betangkup, tapi umaknye daan nampak juak. Dan kin itok tempat iye disabut Tanjung Batu yang telatak di Kecamatan Pemangkat untok menganang cerite iye dan juak di Sambas dikannal lagu “Batu Ballah”. demikianlah artikel dari mengenai Asal Usul Batu Betangkup Kisah, Tragedi, Cerita, Legenda, Naskah Drama, Gambar, semoga artikel ini bermanfaat, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.
Jangka Masa Membaca >15mins Makanan adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan kita. Ia bukan sekadar memberi kita rezeki, namun ia juga membuat kita gembira. Hidangan yang dikongsi bersama mengeratkan hubungan kita dengan orang-orang tersayang. Namun, makanan juga boleh membuat kita menjadi tamak dan angkuh. Dalam cerita rakyat popular dari Malaysia ini, Batu Belah, Batu Bertangkup, kita belajar tentang bagaimana sifat tamak seseorang terhadap makanan bertukar menjadi suatu tragedi, dan betapa pentingnya untuk berkongsi rezeki dan menghormati ibu bapa anda cerita rakyat ini telah dijadikan sebuah filem? Baca kisahnya dan muat turun aktiviti-aktiviti di akhir cerita untuk mengetahui lebih lanjut lagi tentang sejarah perfileman Singapura! Pada suatu masa dahulu, ada seorang wanita bernama Mak Tanjung yang tinggal di sebuah kampung. Dia mempunyai dua orang anak, Melur dan Pekan, yang dibesarkannya sendiri selepas kematian suaminya. Mereka menyara kehidapan dengan menenun jala dan menangkap ikan di laut. Ini diteruskan Mak Tanjung selepas pemergian memandangkan hanya dia seorang sahaja yang mencari nafkah untuk keluarganya, ternyata amat sukar bagi Mak Tanjung untuk memperolehi wang yang cukup untuknya dan anak-anaknya. Lantas, mereka hidup dengan berjimat-cermat dan makan apa sahaja tangkapan yang mereka dapat. Tidak sehari pun berlalu tanpa Mak Tanjung merasakan kehilangan suaminya, namun demi anak-anaknya, dia telan sahaja kesedihannya dan teruskan bekerja siang dan malam, walaupun badannya sakit dan perutnya lapar. Mak Tanjung sangat menggemari ikan tembakul. Tetapi, ikan ini sukar didapati dan agak susah untuk ditangkap. Pada suatu hari, nasib menyebelahinya apabila dia berhasil menangkap ikan ini dengan raganya, semasa menangkap ikan di kawasan paya sungai berhampiran dengan rumahnya.“Akhirnya!” teriak Mak Tanjung kegembiraan, “Sudah begitu lama aku impikan untuk makan ikan ini.”Dengan rasa kesyukuran, Mak Tanjung membawa ikan itu pulang untuk dikongsi bersama anak-anaknya. Setibanya di rumah, Mak Tanjung mula menyediakan ikan itu untuk dimasak. Alangkah gembiranya beliau apabila mendapati ada telur di dalam ikan tembakau itu—ini adalah bahagian ikan tembakul yang paling digemarinya dan jarang-jarang dapat tak sabar untuk kongsi ini dengan anak-anakku, fikir Mak Tanjung sendirian sambil memasak ikan dan telur ikan yang lemak dan enak rasanya dalam kuah yang direnih, menghasilkan buih-buih yang seumpama menari-nari, sekaligus mengeluarkan aroma rempah ratus yang mengharumkan di udara. Ini pasti hidangan yang paling enak yang akan dinikmatinya sejak pemergian suaminya. Ini benar-benar rezeki! Perutnya berkeroncong tanda setuju. Selepas memasak, Mak Tanjung memanggil anak perempuannya Melur, yang merupakan anak sulung daripada dua beradik.“Aku dah potong ikan dan telur ikan kepada tiga bahagian,” kata Mak Tanjung kepada Melur. “Simpan satu bahagian untuk kamu, dan berikan satu bahagian kepada adik kamu. Tinggalkan satu bahagian lagi untuk aku. Ambil lebih ikan kalau kamu mahu, tapi tinggalkan sedikit telur ikan itu untuk aku.”Setelah memberikan arahan kepada anak perempuannya, Mak Tanjung pergi mengemas dan mandi, meningglakan anak-anaknya sendirian dengan makanan itu. Kedua-dua adik beradik itu merasa begitu lapar dan segera menikmati makanan itu. Adik lelakinya, Pekan, merasa terlalu lapar lantas memakan kedua-dua ikan dan telur ikan dalam sekelip mata. Tetapi, dia tetap lapar dan masih mahu makan lagi. Dia mula menangis. “Saya masih lapar! Saya mahu telur ikan lagi, kasi saya lebih telur ikan!”Melur cuba memenuhi permintaan adiknya dengan memberikan bahagian telur ikannya yang belum sempat dimakan, walaupun dengan rasa berat hati. Pekan menghabiskan bahagian telur ikan kakaknya dengan cepat, tetapi tetap mahukan lebih lagi. Dia mula mengamuk dan tergolek-golek di lantai sambil meminta makanan lagi. Dalam keadaan terdesak untuk meredakan adiknya, Melur memberikan bahagian telur ikan ibunya kepada Pekan. Apabila Mak Tanjung kembali untuk menikmati hidangannya, dia begitu hampa dan marah tatkala mendapat tahu anak-anaknya telah menghabiskan semua telur ikan, tanpa meninggalkan sedikit pun untuknya.“Kamu… habiskan semua makanan? Tidak ada apa-apa yang tinggal untuk Ibu?” tanya dia dengan nada perlahan. Kedua-dua anaknya memandang ke arah lain.“Saya minta maaf…” bisik Melur, “dia asyik minta lebih. Saya tak tahu nak buat apa, Ibu.”Walaupun Mak Tanjung faham mengapa Melur memberikan Pekan telur ikannya, tiada apa pun yang dapat meredakan kekecewaan yang dirasakan jauh di lubuk hatinya. Dia cuba menahan airmatanya tetapi ia tetap bergenang dan dia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya. Dia telah bekerja keras untuk anak-anaknya dan sangat teringin untuk menikmati hidangan ini yang dia impikan sejak sekian lama. Tanpa banyak berkata-kata, Mak Tanjung berpaling ke arah lain dan tidur dengan perut yang masih berkeroncong. Suatu keunikan di dalam kampung yang mereka diami ialah sebuah batu misteri yang akan buka untuk menunjukkan gua yang gelap dan sangat dalam. Namun, batu ini dipercayai akan hanya membuka mulutnya kepada orang-orang yang dilanda kesedihan yang teramat sangat. Ia selalu mengundang orang-orang yang sedang dalam kedukaan dengan memanggil mereka dan membuka pintu masuknya untuk orang-orang ini berlegar-legar masuk sebelum menutup pintunya. Orang-orang ini tidak akan pernah dilihat Tanjung baring di katil sambil berpusing-pusing ke kanan dan ke kiri, penuh keresahan. Dia tidak dapat melupakan apa yang telah berlaku tadi. Dalam kesedihannya di atas perbuatan anak-anaknya itu, dia terdengar-dengar batu itu memanggil-manggil namaya. Dia cuba beberapa kali menepisnya, tetapi setelah mengenangkan perbuatan anak-anaknya itu, Mak Tanjung bangun di tengah-tengah malam dan merayau-rayau ke dalam hutan untuk menuju ke batu beliau di batu itu, pintu masuknya yang gelap dan mencurigakan memberinya isyarat. Batu itu menguap dan membuka mulutnya, dan Mak Tanjung terus berjalan masuk, seolah-olah dia telah dipukau, tanpa menyedari lilitan tudungnya telah terlerai dan terjatuh di luar pintu masuk gua itu. Batu itu menutup rapat pintunya, tanpa meninggalkan sebarang bayang Mak Tanjung, kecuali bekas tapak kaki dan selendangnya. Seketika kemudian, Melur terjaga dari tidurnya, dengan merasa ketakutan. Dia dapat merasakan ada sesuatu yang tidak kena. Dia menoleh ke sekeliling pondok kecilnya, hanya untuk menyedari ibunya telah pergi meninggalkannya dan adiknya. Dia memanggil-manggil ibunya, dengan harapan ibunya masih ada di situ, tetapi tiada apa pun yang kedengaran walaupun dia sedaya upaya cuba bergegas mengejutkan Pekan, “Adik! Bangun, Ibu dah hilang!” Pekan membuka matanya, dan melihat sekelilingnya dengan rasa terkejut. Kedua-dua beradik itu segera meninggalkan pondok mereka, merayau-rayau dan memanggil-manggil ibu mereka. Mereka semakin dekat dengan hutan, apabila Pekan menoleh ke bawah dan menyedari bekas tapak kaki ibunya, yang menghala ke arah batu yang menyeramkan itu. Dia menarik tangan Melur dan mereka mula menyusur jejak tapak kaki itu. Kedua-dua beradik itu akhirnya sampai ke batu itu, dan terjumpa selendang ibu mereka yang tercicir dan sedikit kotor. Pintu masuk batu itu ternyata sudah lama tertutup. Mereka meronta-ronta dan menangis, dan menepuk-nepuk permukaan batu yang tertutup itu, sambil memegang erat selendang itu. Menjelang waktu pagi, kedua-dua adik beradik itu merasa sangat penat dan terpaksa menerima takdir mereka sebagai anak yatim. Mereka selamanya menyesali perbuatan mereka yang mementingkan diri sendiri. Pelajari lebih lanjut lagi tentang sejarah perfileman Singapura, lakarkan rekaan set anda dan buat ikan tembakul anda sendiri melalui aktiviti-aktiviti yang disediakan di oleh Nisha Menon
cerita batu belah batu bertangkup